Rabu, 30 April 2014

Hukum Di Indonesia

     Saya akan berpendapat mengenai Hukum di Indonesia, menurut saya jika para pejabat, petinggi negara, atau masyarakat Indonesia sekalipun apabila mentaati aturan hukum di Indonesia berdasarkan dengan pancasila seluruh lapisan masyarakat indonesia pejabat sekalipun akan takut bila melanggar aturan hukum yang ada. INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM (katanya) sudah tidak asing lagi kalimat tersebut di dengar atau di ucapkan, apakah hanya orang yang berduit atau berpangkat tinggi saja hukum akan takut pada mereka? Hukum di Indonesia tidak transparan, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya hanya sebagai pajangan saja. Mengapa berdasarkan pancasila? Karena berdasarkan;

    Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) siapapun yang mempunyai jabatan penting disuatu daerah atau negara sekalipun apabila mereka ingin melakukan sebuah pelanggaran yang sangat merugikan, mereka ingat akan Tuhan mereka yang seharusnya mempunyai rasa malu apabila sampai melakukan pelanggaran tersebut, yang artinya mereka belum memperkuat iman dan taqwanya terhadap diri sendiri.

-        Sila Kedua (Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab), pemerintah dan masyarakat harus mempunyai hubungan sosial yang seimbang, pemerintah juga harus memperhatikan mana-mana masyarakat yang sangat memerlukan kebutuhan apapun dan seharusnya pemerintah mendengar kata hati dari masyarakatnya, apabila keinginan dari masyarakat tidak terpenuhi secara maksimal masyarakat akan bertindak tidak peduli kepada pemerintah, dan yang mempunyai pelanggaran sekecil atau sebesar apapun harus cepat ditangani jangan sampai dibiarkan berlarut-larut yang akan menyebabkan fatal, masyarakat dirugikan dan negara dibuat malu oleh para siapapun yang melanggar hukum

-           Sila Ketiga (Persatuan Indonesia), lagi peran pemerintah dan masyarakat pula yang harus menyeimbangkan persatuan & persatuan negara ini, supaya tidak ada lagi perpecahan lagi antar lapisan masyarakat, masyarakat terhadap pemerintah atau pemerintah terhadap pemerintah. Mengembangkan rasa kebanggan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia

-   Sila Keempat (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan), mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan

-                 Sila Kelima ( Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia), dan hukum di indonesia harus benar-benar transparan kepada masyarakat dengan mengikutsertakan seluruh rakyat dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan begitu masyarakat ikut berperan dalam membenahi permasalahan yang ada.

    Dengan itu, bila pemerintah menghargai adanya pancasila, sepatutnya untuk menjalankan tugas yang benar-benar yang berlandaskan pancasila. Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya. 

   Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum. 





MENAGGAPI KASUS SUTINAH

JAKARTA - Menjelang hari eksekusi tenaga kerja Indonesia, Satinah, di Arab Saudi, yang divonis hukuman mati karena telah membunuh majikannya, uang diyat sebesar Rp 21 miliar yang dibebankan kepada pemerintah tak kunjung terkumpul. Perkembangan terakhir hasil ‘urunan ’untuk Satinah baru terkumpul sekira Rp15miliar.

Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini seolah-olah menjadi komoditas bisnis.

Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian, hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap Lathifa.

Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter negara yang berbeda,”  tegas  Lathifa.

Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh keluarga Satinah.

“Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap Hikmahanto.

Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar pemerasan melalui lembaga  diyat,” tuturnya.

  Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini seolah-olah menjadi komoditas bisnis.   Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian, hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap Lathifa.   Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter negara yang berbeda,”  tegas  Lathifa.   Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh keluarga Satinah.   “Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap Hikmahanto.   Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar pemerasan melalui lembaga  diyat,” tuturnya.


http://news.okezone.com/read/2014/03/30/337/962851/kasus-satinah-tamparan-keras-bagi-pemerintah           

    Menurut keterangan diatas saya kontra terhadap urunan untuk kasus satinah, seharusnya keluarga dari pihak satinah yang membayar uang diyat tersebut, sesuai dengan pendapat Hikmahanto Juwana. sebagai warga negara Indonesia yang taat oleh hukum sebaiknya satinah mengikuti aturan hukum di negara arab saudi, walaupun katanya satinah tidak membunuh majikannya tetapi satinah berada di TKP  saat kejadian berlangsung. 

      Hukum di dunia memang sama tetapi setiap negara mempunyai aturan-aturan tertentu dalam menyikapi pembelaan terhadap seseorang. Mungkin negara arab saudi sangat tegas dalam kasus ini, contoh kecil saja ketika seseorang mencuri pada zaman para nabi terdahulu kita saja akan dipotong jari-jarinya, bagaimana yang tertangkap basah membunuh seseorang, mungkin akan dikenakan hukuman yang setimpal juga. 

      Saya berpendapat seperti ini bukan tidak prihatin dengan kasus ini tetapi akan sangat percuma pemerintah atau dari lembaga tertentu membantu urunan uang diyat untuk satinah, yang pada akhirnya tidak terkumpul sampai dengan yang ditentukan. Yang ada Indonesia akan di cap yang tidak baik oleh negara yang bersangkutan atau negara lain. Memang TKI adalah devisa negara tetapi jikalau TKI tersebut sudah melakukan kesalahan seharusnya di hukum sesuai dengan aturan yang ada, mungkin pemerintah Indonesia hanya bisa membantu sampai persidangan tentang kasus perkara ini, hukuman vonis yang akan di kenakan oleh satinah serahkan kepada hukum negara arab saudi bukan dengan membayar uang diyat yang diajukan.