MENAGGAPI KASUS SUTINAH
JAKARTA - Menjelang hari
eksekusi tenaga kerja Indonesia, Satinah, di Arab Saudi, yang divonis hukuman
mati karena telah membunuh majikannya, uang diyat sebesar Rp 21 miliar yang
dibebankan kepada pemerintah tak kunjung terkumpul. Perkembangan terakhir hasil
‘urunan ’untuk Satinah baru terkumpul sekira Rp15miliar.
Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam
kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini
seolah-olah menjadi komoditas bisnis.
Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari
awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian,
hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap
Lathifa.
Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi
alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus
terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus
bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga
kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium
tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja
belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang
sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter
negara yang berbeda,” tegas Lathifa.
Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia,
Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh
keluarga Satinah.
“Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara
pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat
keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan
berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap
Hikmahanto.
Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi
kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah
akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar
pemerasan melalui lembaga diyat,”
tuturnya.
Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam
kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini
seolah-olah menjadi komoditas bisnis.
Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari
awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian,
hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap
Lathifa.
Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi
alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus
terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus
bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga
kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium
tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja
belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang
sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter
negara yang berbeda,” tegas Lathifa.
Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia,
Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh
keluarga Satinah.
“Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara
pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat
keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan
berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap
Hikmahanto.
Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi
kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah
akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar
pemerasan melalui lembaga diyat,”
tuturnya.
Menurut keterangan diatas
saya kontra terhadap urunan untuk kasus satinah, seharusnya keluarga dari pihak
satinah yang membayar uang diyat tersebut, sesuai dengan pendapat Hikmahanto Juwana. sebagai warga negara Indonesia yang taat oleh hukum
sebaiknya satinah mengikuti aturan hukum di negara arab saudi, walaupun katanya
satinah tidak membunuh majikannya tetapi satinah berada di TKP saat kejadian berlangsung.
Hukum di dunia
memang sama tetapi setiap negara mempunyai aturan-aturan tertentu dalam menyikapi
pembelaan terhadap seseorang. Mungkin negara arab saudi sangat tegas dalam
kasus ini, contoh kecil saja ketika seseorang mencuri pada zaman para nabi
terdahulu kita saja akan dipotong jari-jarinya, bagaimana yang tertangkap basah
membunuh seseorang, mungkin akan dikenakan hukuman yang setimpal juga.
Saya
berpendapat seperti ini bukan tidak prihatin dengan kasus ini tetapi akan
sangat percuma pemerintah atau dari lembaga tertentu membantu urunan uang diyat
untuk satinah, yang pada akhirnya tidak terkumpul sampai dengan yang
ditentukan. Yang ada Indonesia akan di cap yang tidak baik oleh negara yang
bersangkutan atau negara lain. Memang TKI adalah devisa negara tetapi jikalau
TKI tersebut sudah melakukan kesalahan seharusnya di hukum sesuai dengan aturan
yang ada, mungkin pemerintah Indonesia hanya bisa membantu sampai persidangan
tentang kasus perkara ini, hukuman vonis yang akan di kenakan oleh satinah
serahkan kepada hukum negara arab saudi bukan dengan membayar uang diyat yang
diajukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar