Rabu, 30 April 2014

MENAGGAPI KASUS SUTINAH

JAKARTA - Menjelang hari eksekusi tenaga kerja Indonesia, Satinah, di Arab Saudi, yang divonis hukuman mati karena telah membunuh majikannya, uang diyat sebesar Rp 21 miliar yang dibebankan kepada pemerintah tak kunjung terkumpul. Perkembangan terakhir hasil ‘urunan ’untuk Satinah baru terkumpul sekira Rp15miliar.

Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini seolah-olah menjadi komoditas bisnis.

Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian, hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap Lathifa.

Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter negara yang berbeda,”  tegas  Lathifa.

Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh keluarga Satinah.

“Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap Hikmahanto.

Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar pemerasan melalui lembaga  diyat,” tuturnya.

  Migrant Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini seolah-olah menjadi komoditas bisnis.   Analis Timur Tengah, Lathifa Marina Al Anshori, melihat kasus Satinah ini dari awal memang ada kesan bahwa pemilihan uang diyat sebagai jalan penyelesaian, hanya untuk dimanfaatkan. “Ini memang sudah jadi karakter bangsa di sana,” ucap Lathifa.   Lulusan Universitas Kairo ini juga menambahkan bahwa kasus Satinah ini menjadi alarm keras bagi pemerintah yang tampaknya tidak belajar dari kasus-kasus terdahulu. “Ini belum puncak permasalahan, kasus seperti ini akan masih terus bergulir. Selama pemerintah tidak memberikan edukasi memadai kepada para tenaga kerja untuk tindakan pencegahan. Apalagi dengan kembalinya dibuka moratorium tenaga kerja ke Arab Saudi, saya sangat khawatir, karena masalah disana saja belum selesai, lalu kok dikirim lagi? Harus ada perjanjian bilateral yang sangat mengikat dan peraturan yang general karena ini menghadapi karakter negara yang berbeda,”  tegas  Lathifa.   Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa seharusnya uang diyat itu dibayar oleh keluarga Satinah.   “Ini hubungan antara pelaku dan korban yang bersifat kontraktual, bukan antara pemerintah dan pihak korban. Pembayaran diyat oleh pemerintah RI membuat keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban akan berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya,” ucap Hikmahanto.   Hikmahanto juga merasa uang diyat ini seharusnya bisa digunakan untuk memberi kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat. “Uang diyat yang dibayar pemerintah akan menjadi preseden buruk, seharusnya tidak digunakan untuk membayar pemerasan melalui lembaga  diyat,” tuturnya.


http://news.okezone.com/read/2014/03/30/337/962851/kasus-satinah-tamparan-keras-bagi-pemerintah           

    Menurut keterangan diatas saya kontra terhadap urunan untuk kasus satinah, seharusnya keluarga dari pihak satinah yang membayar uang diyat tersebut, sesuai dengan pendapat Hikmahanto Juwana. sebagai warga negara Indonesia yang taat oleh hukum sebaiknya satinah mengikuti aturan hukum di negara arab saudi, walaupun katanya satinah tidak membunuh majikannya tetapi satinah berada di TKP  saat kejadian berlangsung. 

      Hukum di dunia memang sama tetapi setiap negara mempunyai aturan-aturan tertentu dalam menyikapi pembelaan terhadap seseorang. Mungkin negara arab saudi sangat tegas dalam kasus ini, contoh kecil saja ketika seseorang mencuri pada zaman para nabi terdahulu kita saja akan dipotong jari-jarinya, bagaimana yang tertangkap basah membunuh seseorang, mungkin akan dikenakan hukuman yang setimpal juga. 

      Saya berpendapat seperti ini bukan tidak prihatin dengan kasus ini tetapi akan sangat percuma pemerintah atau dari lembaga tertentu membantu urunan uang diyat untuk satinah, yang pada akhirnya tidak terkumpul sampai dengan yang ditentukan. Yang ada Indonesia akan di cap yang tidak baik oleh negara yang bersangkutan atau negara lain. Memang TKI adalah devisa negara tetapi jikalau TKI tersebut sudah melakukan kesalahan seharusnya di hukum sesuai dengan aturan yang ada, mungkin pemerintah Indonesia hanya bisa membantu sampai persidangan tentang kasus perkara ini, hukuman vonis yang akan di kenakan oleh satinah serahkan kepada hukum negara arab saudi bukan dengan membayar uang diyat yang diajukan.    
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar